Khoirul Anwar, Tukang Ngarit Penemu Teknologi 4G
Usianya baru 36 tahun. Meski begitu, Khoirul Anwar berhasil mewujudkan mimpi membuat teori baru seperti Albert Einstein dan Michael Faraday. Putra dusun di pelosok Kediri, Jatim, itu menciptakan teknologi transmitter yang kini dikenal di dunia telekomunikasi sebagai teknologi 4G.
Laporan BAYU PUTRA, Jakarta
PANGGUNG Achmad Bakrie Award Rabu lalu (10/12) menjadi salah satu bentuk apresiasi masyarakat Indonesia atas prestasi fenomenal Anwar, begitu dia kerap disapa. Dia meningkatkan level telekomunikasi global lewat teknologi 4G. Sebuah teknologi yang awalnya dianggap remeh sebagian kalangan.
Begitu perhelatan award selesai, Anwar langsung menjadi pusat perhatian. Para undangan berebut untuk berfoto bersama ilmuwan muda nan genius itu. Dengan sabar Anwar melayani permintaan foto tersebut. Tidak lupa, dia mengajak pujaan hatinya, Sri Yayu Indriyani Rochandi, untuk ikut berdiri satu frame.
Anwar dinobatkan sebagai ilmuwan muda berprestasi dalam ajang tersebut. Dia berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh senior seperti Emil Salim, Mundardjito, Gunawan Indrayanto, I Gede Wenten, dan Indrawati Ganjar.
Teknologi transmitter and receiver yang dibuatnya pada 2004 kini digunakan secara luas di sejumlah negara dalam layanan telekomunikasi. Dunia menyebutnya 4G LTE. Teknologi itu mulai booming di Indonesia setelah sejumlah operator seluler ramai-ramai meluncurkannya.
Anwar menciptakan teknologi 4G saat masih menempuh studi doktoral di Nara Institute of Science and Technology (NAIST), Jepang. Dia merasa gundah dengan adanya problem power pada wifi. ”Pada satu titik, ia sangat tinggi (power-nya), kemudian rendah lagi dan tinggi lagi,” ujarnya setelah meninggalkan panggung award.
Untuk mengatasi hal tersebut, Anwar menggunakan algoritma Fast Fourier Transform (FFT) berpasangan. Sebuah FFT dipasangkan dengan FFT aslinya dengan harapan bisa menstabilkan power. Ide itu dianggap gila oleh para ahli saat dia melakukan presentasi di Hokkaido pada 2005.
Apa yang dilakukan Anwar dianggap tidak berguna. Sebab, apabila dua FFT dipasangkan, yang terjadi adalah saling menghilangkan. Kemudian, dia juga dicemooh saat presentasi di Australia.
”Tentu saya tidak sebodoh itu. Ada teknik tertentu agar tidak saling menghilangkan. Saya tetap bersikeras karena saya tahu ini sangat bermanfaat,” kenang pria kelahiran 22 Agustus 1978 tersebut.
Setelah dicemooh di Hokkaido, Anwar pergi ke Amerika Serikat untuk mematenkan teknologi ciptaannya. Dia berhasil mendapatkan hak paten dengan nama Transmitter and Receiver, ditambah penghargaan di Negeri Paman Sam.
Tidak disangka-sangka, pada 2008 International Telecommunication Union (ITU) yang berbasis di Jenewa, Swiss, menetapkan standar teknologi 4G untuk telekomunikasi. Rupanya, teknologi yang dijadikan standar adalah teknologi yang dia patenkan pada 2006. ”Jadi, mana tadi orang-orang yang di Australia dan Hokkaido itu (yang dulu meremehkan, Red)?” kelakarnya sembari tertawa.
Kemudian, pada 2010 teknologi miliknya digunakan sebagai standar internasional untuk keperluan satelit. Karena sudah digunakan satelit, Anwar pun yakin teknologinya bisa diterapkan untuk telekomunikasi di bumi.
Pembuktian itu merupakan buah dari proses panjang, yang berawal dari sebuah arit. Ya, semasa kecil, pekerjaan sehari-hari Anwar seusai sekolah adalah ngarit (mengarit, mencari rumput untuk pakan ternak). Anwar kecil sangat menyukai sains. Karena itu, di sela ngarit, dia menyempatkan diri membaca buku mengenai teori Einstein dan Faraday.
Angan-angannya pun membubung tinggi. Dia ingin kelak bisa menciptakan teori baru seperti Einstein dan Faraday. Dia pun bertekad untuk berubah dan berupaya mengejar mimpinya. Sehingga tidak terus menjadi tukang ngarit di tempat asalnya, Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten Kediri.
Mimpi tersebut nyaris pupus saat ayahnya, Sudjiarto, meninggal dunia pada 1990. Kala itu Anwar kecil baru saja lulus SD. Dia pun kebingungan. Dia khawatir ibunya, Siti Patmi, yang dia panggil emak, tidak punya uang untuk menyekolahkan dirinya sampai ke perguruan tinggi.
Akhirnya, dengan tekad bulat, Anwar kecil memberanikan diri menemui emak dan memohon untuk disekolahkan setinggi-tingginya. Keinginan kuat Anwar meluluhkan hati sang bunda. ”Beliau bilang, ’Nak, kamu tidak usah ke sawah lagi. Kamu saya sekolahkan setinggi-tingginya sampai tidak ada lagi sekolah yang tinggi di dunia ini,’” ucapnya dengan nada tertahan.
Anwar lalu bersekolah di SMPN 1 Kunjang, kemudian berhasil menembus SMAN 2 Kediri, yang merupakan sekolah favorit. Menjadi salah satu di antara segelintir anak desa yang bersekolah di kota membuat Anwar minder. Namun, rasa minder itu mampu dikalahkan ketekunannya menuntut ilmu. Hasilnya, dia menjadi juara kelas pada tahun pertama.
Saat duduk di kelas II SMA, Anwar yang indekos di Kediri mencoba mengirit pengeluaran agar tidak membebani sang bunda. Caranya, dia tidak sarapan sebelum berangkat sekolah. Ternyata, peringkat dia merosot ke urutan keenam. ”Karena tidak sarapan, setiap jam sembilan pagi kepala saya pusing,” kenangnya.
Ibu salah seorang temannya lalu menawari Anwar untuk ngenger (menumpang tinggal) di rumahnya secara gratis. Sarapan pun terjamin dan hal itu membuat peringkat Anwar kembali ke urutan teratas, bahkan terbaik di sekolah. ”Saya berpesan ke murid-murid di seluruh Indonesia agartidak mengabaikan makan pagi. Saya sudah buktikan sendiri,” tuturnya.
Anwar lalu melanjutkan studi ke Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia lulus sebagai salah seorang wisudawan terbaik ITB pada 2000. Anwar lalu berupaya mendapatkan beasiswa magister yang ditawarkan Panasonic Jepang. Dia lulus seleksi dan memilih universitas di Tokyo sebagai tujuan.
Rupanya, kali ini Anwar menemui ganjalan. Dia tidak lolos seleksi yang diadakan sebuah universitas di Tokyo plus tidak lulus ujian kemampuan bahasa Jepang. Anwar sangat sedih dan malu saat tahu tidak lolos. Agar tidak dipulangkan, akhirnya dia beralih ke universitas lain, yakni NAIST, yang juga di Jepang. Dia berhasil lolos masuk NAIST dan menyelesaikan studi magisternya selama 1,5 tahun. Dia kemudian melanjutkan studi doktoral dan meneliti transmitter tersebut.
Saat ini Anwar menjadi asisten profesor di Japan Advance Institute of Science and Technology. Selain mematenkan 4G, Anwar mengembangkan teknologi itu dengan mengefisienkan power. Karena berisiko terjadi interferensi (interaksi antargelombang) yang bisa merusak.
Anwar terinspirasi tayangan kartun Dragon Ball Z ketika tokoh Son Goku mengambil energi dari alam yang disatukan menjadi bola api. Bola api tersebut bernama Genkidama. Cara itu lalu dia coba di teknologi 4G dengan menarik energi sekitar untuk menunda interferensi yang berada di tengah.
Teknologi 4G modifikasi tersebut lalu dipatenkan. Begitu pula satu teknologi lain yang dia ciptakan untuk keperluan Olimpiade Tokyo 2020. Anwar bersyukur pemerintah Jepang begitu menghargai ilmuwan. Dia sebagai ilmuwan asing memperoleh kemudahan untuk mendapatkan dana riset. Bahkan, untuk urusan paten, biayanya ditanggung pemerintah Jepang.
Kemudian, Profesor Takao Hara yang membimbingnya dalam penelitian itu juga bersikap fair. Begitu tahu penelitian mahasiswanya menjadi standar internasional, dia langsung menyatakan penelitian tersebut sebagai hak Anwar. ”Eighty(80) percent for you, 20 percent for me,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara itu menirukan sang profesor.
Satu hal yang membuat Anwar salut, orang Jepang begitu bangga menggunakan produk sendiri meski jelek. Karena itu, ilmuwan Indonesia sebaiknya meniru Jepang. ”Saya inginnya insinyur kita, jelek-jelek nggak apa-apa, asal punya kita. Sedikit demi sedikit bisa diperbaiki,” tutur ayah empat anak tersebut.
Yang penting, prosesnya jalan terlebih dulu. Apabila sudah benar, tinggal dipikirkan cara menyempurnakannya.”Kalau kita mau langsung bikin yang hebat, tidak akanada. Orang pasti bermula dari tidak hebat. Yang mudah dulu,” tegasnya. Dia yakin ilmuwan Indonesia tidak hanya genius, namun juga kreatif dan mampu mencari terobosan.
Khusus penerapan teknologi 4G di Indonesia, bagi Anwar tidak ada kata terlambat. Peluangnya sangat besar dan bermanfaat bagi masyarakat. Pemerintah harus siap; operator seluler juga harus siap. Sebagai contoh, Indonesia bisa menerapkan e-health dengan menggunakan teknologi 4G. ”Pasien di ambulans selama perjalanan bisa dipandu dokter yang ada di rumah sakit,” tutupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar